Sebelum kita membahas setiap argumen secara detil, kita perlu memikirkan posisi 9:11-12 dalam keseluruhan argumen ini. Mengapa Paulus tidak langsung melanjutkan argumen dari 9:7-10 ke 9:13-14? Mengapa ia perlu menegaskan lebih dahulu bahwa ia tdak mau mempergunakan apa yang menjadi haknya (9:11-12)? Bukankah penegasan ini nanti juga akan dibahas ulang secara lebih detil di 9:15-18? Apakah 9:11-12 merupakan sebuah sisipan, transisi, atau memang sejak awal dimaksudkan seperti sekarang?
Sebagian penafsir menduga bahwa Paulus awalnya memang ingin menutup argumennya di 9:10, karena itu ia langsung menegaskan sikapnya yang tidak mau mempergunakan hak (9:11-12). Setelah mengutarakan hal tersebut, Paulus baru ingat bahwa masih ada dua argumen lain yang perlu ia sampaikan (9:13-14). Dengan demikian para penafsir ini menganggap 9:13-14 sebagai tambahan spontan dari Paulus. Walaupun dugaan ini sangat menarik, tetapi hal ini tampak bertentangan dengan petunjuk yang ada di dalam teks.
Pertama, 9:7-18 menunjukkan struktur yang seimbang:
Dua alasan bagi hak para rasul (9:6-1)
Paulus tidak mau mempergunakan hak itu (9:11-12)
Dua alasan bagi hak para rasul (9:13-14)
Paulus tidak mau mempergunakan hak itu (9:15-18)
Kedua, Paulus sengaja memisahkan kelompok argumen ke-1 (9:7-10) dengan ke-2 (9:13-14) untuk tujuan tertentu. Ia ingin menampilkan perbedaan dari dua kelompok argumen ini. Kelompok ke-1 lebih berkaitan dengan pekerjaan yang “sekuler”, misalnya peperangan, pertanian, penggembalaan, atau pengirikan, sedangkan kelompok ke-2 secara lebih khusus menyoroti pekerjaan yang langsung berkaitan dengan hal-hal rohani (pelayan di kuil/bait Allah maupun pemberita Injil). Berdasarkan pengaturan seperti ini dan peletakkan ajaran Tuhan Yesus di argumen terakhir, tersirat bahwa Paulus sedang mengajak jemaat Korintus untuk memikirkan argumen-argumen lain yang lebih relevan daripada argumen sebelumnya.
Dengan berpindah ke kelompok argumen berikutnya, Paulus sekarang bisa mengaitkan hal ini dengan isu utama di pasal 8-10 secara lebih dekat. Inti masalah yang sedang dibahas adalah tentang makanan berhala (8:1, 4), terutama tindakan makan di kuil (8:10; 10:14-22). Sebagian jemaat merasa punya hak untuk melakukan itu dan mereka tidak mau melepaskan kebiasaan ini demi kepentingan saudara seiman. Dalam kaitan dengan hal ini, sangat wajar apabila Paulus menyinggung tentang hak para pelayan di kuil/bait Allah (9:13). Penggunaan ajaran Tuhan Yesus sebagai argumen yang klimaks (9:14) dan ketidakmauan Paulus untuk menggunakan hak tersebut (9:15-18) mengajarkan jemaat Korintus bahwa memiliki hak bukanlah segala-galanya, apalagi dari sisi logis maupun theologis jemaat Korintus sebenarnya tidak memiliki hak untuk makan di kuil. Mereka bukan pelayan rohani di kuil yang memang harus makan dari sana, melainkan mereka hanya datang dalam kapasitas sebagai pengunjung.
Praktek Keagamaan Secara Umum (ay. 13)
Ayat ini dimulai dengan sebuah pertanyaan retoris (ouk oidate) yang mengharapkan jawaban “ya”. Dari bentuk kalimat tanya yang dipakai terlihat bahwa apa yang disampaikan di ayat ini bukanlah sesuatu yang baru. Seandainya jemaat Korintus lebih peka dan mau berpikir, maka mereka pasti sudah mengetahui argumen ini, apalagi di Kota Korintus memang terdapat banyak kuil penyembahan. Dalam hal ini Paulus hanya sekadar mengingatkan mereka terhadap hal-hal kecil atau sehari-hari yang seringkali lepas dari pengamatan serius.
Siapakah yang dimaksud dengan “mereka yang melayani tempat kudus” atau “melayani mezbah” di sini? Apakah mereka adalah orang-orang Lewi dan para imam di bait Allah? Beberapa penafsir menjawab “ya” untuk pertanyaan ini, namun jawaban yang mereka berikan bertentangan dengan petunjuk yang ada di dalam teks. Paulus tidak sedang membatasi diri pada ibadah di bait Allah. Ia memikirkan ibadah secara umum, baik ibadah Yahudi (di bait Allah) maupun kafir (di kuil-kuil).
• Kata “tempat kudus” di ayat ini dalam bahasa Yunani berbentuk jamak (ta hiera). Secara harfiah kata ini lebih tepat diterjemahkan “tempat-tempat ibadah” (baik bait Allah maupun kuil kafir). Sebagian versi mempertahankan bentuk jamak, tetapi menganggap ta hiera merujuk bentuk pelayanan, bukan tepat ibadah (KJV “holy things”, NASB “sacred services”, RSV/NRSV “temple service”). Versi lain dengan tepat menerjemahkan “temple” (NIV/NET), tetapi mereka gagal mempertahankan bentuk jamak yang dipakai. Mempertimbangkan bentuk jamak ta hiera, kita sebaiknya tidak memahami ayat 13 hanya sebatas ibadah Yahudi di bait Allah, karena bait Allah hanya satu sedangkan ta hiera yang dipakai di sini jamak.
• Kata “melayani” (ay. 13b) dalam bahasa Yunani adalah paredreuo. Kata ini hanya muncul sekali di seluruh Akitab (hapax legomena). Pemakaian di luar Alkitab menunjukkan bahwa kata paredreuo seringkali digunakan untuk aktivitas para imam kafir dalam mempersembahkan korban kepada dewa-dewa mereka.
• Kata dasar to hieron (bentuk tunggal dari ta hiera) dalam Alkitab memang bisa merujuk pada bait Allah (Kis. 3:2, 10) maupun kuil kafir (Kis. 19:27).
• Kata “mezbah” (ay. 13b) memakai kata Yunani thysiasterion yang hanya dipakai untuk altar persembahan di bait Allah.
Dari semua petunjuk di atas terlihat bahwa Paulus memikirkan bait Allah di Yerusalem maupun tempat-tempat ibadah yang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa semua aliran keagamaan mengadopsi pandangan yang sama, yaitu para pekerja rohani berhak mendapatkan tunjangan materi dari apa yang mereka lakukan.
Sebagain penafsir mencoba membedakan “mereka yang melayani tempat-tempat kudus” dengan “mereka yang melayani mezbah”, terutama para penafsir yang meyakini bahwa ayat 13 berbicara secara khusus tentan ibadah di bait Allah. Mereka menganggap bahwa frase “yang melayani tempat kudus” merujuk ada orang-orang Lewi, sedangkan frase “yang melayani mezbah” pada para imam. Walaupun Alkitab memang membedakan pekerjaan orang-orang Lewi dan para imam serta mengatur upah yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut (Bil. 18:8-4; Ul. 18:1-8), namun kita sebaiknya tidak membedakan ayat 13a dengan 13b. Ayat 13b hanya bersifat menegaskan saja.
Ada dua argumen yang mengarah pada kesimpulan ini. Dalam kalimat Yunani, antara ayat 13a dan 13b tidak dihubungkan dengan kata sambung kai (“dan”, kontra semua versi). Penggunaan kata kai akan lebih jelas menunjukkan bahwa Paulus sedang membicarakan dua kelompok pelayan, namun ia ternyata tidak memakai kata sambung ini. Alasan lain berhubungan dengan kesejajaran (paralelisme) antara ayat 13a dan 13b. Baik ayat 13a maupun 13b memakai struktur kalimat “artikel + kata benda + participle present + kata benda + indikatif present”. Paralelisme ini menyiratkan bahwa Paulus tidak sedang membedakan para pelayan di ayat 13a dan 13b.
Ajaran Tuhan Yesus (ay. 14)
Penempatan argumen ini di bagian terakhir menyiratkan keyakinan Paulus bahwa ajaran Tuhan Yesus merupakan otoritas tertinggi dalam semua argumen. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus sudah merupakan argumen yang konklusif. Di samping itu, hal ini juga dimaksudkan sebagai klimaks yang spesifik, karena ajaran Tuhan Yesus yang dikutip memang sangat dan langsung berkaitan dengan hak para rasul sebagai pemberita. Pemakaian kata “demikian pula” (houtos kai) di awal ayat ini mengajarkan sebuah kebenaran yang penting tentang kebenaran. Allah telah menempatkan kebenaran-Nya dalam realitas kehidupan sehari-hari (9:7), Hukum Taurat (9:8-10) maupun praktek keagamaan secara umum (9:13). Walaupun dunia sudah dipengaruhi oleh dosa dan seluruh dimensi kehidupan manusia sendiri juga tercemar, tetapi Allah tetap memberi anugerah dengan cara menyisakan kebenaran di dunia ini. Semua kebenaran ini perlu ditinjau dari perspektif ajaran Kristus, karena pewahyuan sempurna hanya ada di dalam Dia (Yoh. 1:18; Ibr. 1:1-3). Berdasarkan penjelasan ini kita perlu mengingat bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah dan Ia memakai semua kebenaran itu sebagai salah satu cara untuk mengontrol dunia ini, karena itu kita perlu respek terhadap penganut agama lain yang dalam hal-hal tertentu memang mengetahui beberapa kebenaran berdasarkan wahyu/anugerah umum. Kita memang harus tegas menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Kristus Yesus (Yoh. 14:6), tetapi hal ini bukan berarti bahwa kita meremehkan atau mengabaikan kebenaran umum di dalam agama-agama. Sebaliknya, kita patut mensyukuri hal itu, karena Allah memang telah meletakkan banyak kebenaran di alam, realitass kehidupan seharihari, pikiran manusia, dsb., walaupun kebenaran tertinggi hanya ada satu, yaitu di dalam firman Tuhan.
Kutipan dari ajaran Tuhan Yesus ini semakin membuktikan bahwa Paulus mengenal tradisi lisan dari Yesus dengan baik, sekalipun ia bukan saksi mata kehidupan Yesus. Ia beberapa kali mengutip perkataan Yesus (1Kor. 7:10; 11:23-25; 1Tim. 5:18), bahkan perkataan yang nantinya tidak dicatat dalam kitab-kitab Injil (Kis. 20:35). Ia mungkin mendapatkan ajaran Yesus dari para rasul maupun secara langsung.
Di 1 Korintus 9:14 ini Paulus mengutip perkataan Tuhan Yesus sebelum Ia mengutus murid-murid untuk memberitakan Injil ke seluruh daerah Israel (Mrk. 6:7-11; Mat. 10:1-15; Luk. 9:1-15; 10:1-12). Tuhan Yesus melarang mereka untuk menguatirkan kehidupan mereka dengan cara membawa banyak persediaan atau perlengkapan hidup. Larangan ini bukan dimaksudkan untuk menyengsarakan mereka, tetapi justru untuk mengajar mereka bersandar kepada Allah. Allah pasti akan memelihara kehidupan mereka dengan cara menyediakan orang-orang yang mau menerima Injil yang mereka sampaikan sekaligus memberikan tempat tinggal serta makanan bagi mereka.
Seandainya para pemberita Injil harus hidup dari Injil – seperti yang diajarkan Tuhan Yesus – maka keputusan Paulus untuk menolak tunjangan materi dari jemaat Korintus merupakan sikap yang menarik untuk ditelaah. Apakah dalam hal ini Paulus telah melanggar perintah Tuhan Yesus? Apakah ada pertimbangan lain yang lebih tinggi daripada perintah Tuhan Yesus? Hampir semua penafsir percaya bahwa Paulus tidak menentang ajaran Tuhan Yesus, tetapi tidak semua mereka memberikan penjelasan yang tepat. Beberapa mencoba menerjemahkan diatasso di ayat ini dengan kata “menetapkan” (LAI:TB/KJV) untuk memperlunak bobot dari perkataan Tuhan Yesus. Perkataan Tuhan Yesus bukan sebuah perintah, tetapi hanya sekadar ketetapan. Upaya ini tidak dapat dipertahankan. Kata diatasso dalam Alkitab selalu berarti “memerintahkan”. Kalaupun kata ini mau diterjemahkan “menetapkan”, sulit dimengerti mengapa “ketetapan” dianggap kurang berbobot daripada “perintah”. Tidak ada perbedaan esensial dari dua kata ini.
Beberapa yang lain mencoba menerjemahkan diatasso dengan makna yang umum (“memerintahkan”), tetapi mereka mengangap perintah ini ditujukan pada penerima Injil, bukan pemberitanya. Beberapa versi menyiratkan bahwa tidak ada objek khusus dari perintah ini. Tuhan Yesus hanya memerintahkan sesuatu (konsepnya). Mereka memilih terjemahan “demikian pula Tuhan Yesus memerintahkan/menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari Injil” (NIV/RSV/NRSV).
Alasan yang paling tepat harus dilihat dari konteks perkataan Tuhan Yesus. Jika kita memperhatikan konteks ucapan Tuhan Yesus (Mrk. 6:7-11; Mat. 10:1-15; Luk. 9:1-15; 10:1-12), maka kita akan melihat bahwa memang ada ruang atau kemungkinan bahwa pemberita Injil tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Ada kemungkinan mereka ditolak oleh para pendengar Injil. Ketika murid-murid mengalami ini, Tuhan Yesus tidak memerintahkan mereka untuk memaksa para pendengar mereka. Hal ini menyiratkan bahwa menerima tunjangan materi dari para pendengar Injil lebih merupakan suatu hak daripada kewajiban. Konsep inilah yang dipahami Paulus dan ditekankan dalam 1 Korintus 9. Sebagai sebuah hak, maka ada ruang untuk tidak menggunakan hak tersebut tanpa melanggar Sang Pemberi hak. Sebagai contoh, kita wajib menolong orang lain yang sedang menderita kesusahan, tetapi orang itu tetap memiliki hak untuk tidak bersedia menerima pertolongan dari kita dengan alasan tertentu. Orang tersebut belum tentu secara sengaja menentang hukum kasih yang menjadi dasar mengapa kita wajib menolong dia. Dia mungkin hanya sekadar sungkan atau sudah ada orang lain yang memberi pertolongan kepadanya. Paulus juga demikian. Ia tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus dengan pertimbangan khusus (tidak mau disamakan dengan para filsuf keliling, lihat eksposisi 9:11-12), namun ia tetap mau menerima tunjangan dari jemaat di Makedonia (2Kor. 11:8-9).
Sikap Paulus yang tidak mau menggunakan hak sebagai peberita Injil merupakan teladan sekaligus teguran bagi jemaat Korintus. Mereka sebenarnya tidak berhak makan di kuil, baik secara logis (mereka bukan pelayan kuil) maupun theologis (tindakan itu termasuk penyembahan berhala). Mereka hanya berhak atas makanan itu jika mereka datang dan turut dalam ibadah di sana. Jika mereka tidak mau melepaskan “hak” ini demi orang lain, maka mereka patut merasa malu dan mulai meneladani Paulus. Ia memiliki hak penuh (dalam arti yang sesungguhnya) atas tunjangan materi bagi kehidupan dan pelayanannya, tetapi ia justru rela melepaskan hak itu demi orang-orang lain. Mengapa jemaat Korintus begitu sulit melepaskan “hak” yang sebenarnya tidak berarti itu? Biarlah pertanyaan ini juga menjadi perenungan kita selama seminggu ini. Apakah ada hal-hal tertentu yang selama ini kita pertahankan dan itu justru menyakiti atau menjadi batu sandungan bagi orang lain? #
Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Maret 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2013-14.pdf
“Mengenal kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung dari Allah tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan hidup berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita.”
(Rev. Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God’s Way, hlm. 185)